Hukum Main Catur

Permainan catur adalah permainan yang belum dikenal oleh umat Islam pada masa Rasul saw. Ia dikenal melalui masyarakat Persia ketika mereka memeluk Islam. Konon, adanya dari India. Ulama-Ulama berbeda pendapat tentang hukum bermain catur. Ulama yang ketat, mengharamkannya dan yang moderat membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

Ulama-ulama yang mengharamkan permainan itu mendasarkan pendapatnya pada:

Ayat al-Quran yang melarang perjudian (Q.S al-Maidah [5]: 90);

Beberapa riwayat dinisbahkan kepada Nabi saw. yang mengutuk atau mengancam para pemain catur dengan siksa;

Kesamaannya dengan nardashir. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda: “Barang siapa yang bermain nardasyir, maka dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya (HR. Malik, Ahmad, dan Abu Dawud melalui Abu Musa).”

Kata nardasyir berasal dari bahasa Persia. Nard bermakna dadu, sedangkan syir bermakna manis. Nard atau nardasyir adalah permainan yang di Mesir dinamai Thawilah, yakni meja karena ia terdiri dari papan beraneka gambar, dengan empat belas dadu berbentuk bundar. Permainan dilakukan dengan menggunakan dadu itu.

Para ulama yang tidak menilai haram hukum bermain catur menolak mempersamakan bermain catur dengan berjudi. Menurut hemat penulis, penolakan tersebut jelas pada tempatnya. Di mana gerangan letak persamaannya? Memang, jika disertai dengan judi, ia haram, tetapi keharamannya adalah karena perjudian bukan karena permainan catur.

Adapun hadits-hadits yang mengancam permain catur, kesemuanya adalah hadits dha’if (lemah). Bagaimana mungkin Nabi saw. menilai satu hal padahal ia belum dikenal pada masa beliau? Ibnu Hajar al-Haitsami menulis komentarnya terhadap buku al-Minhaj karya an-Nawai bahwa al-Hafizh al-Asqalani menilai bahwa tidak satu pun dari hadits menyangkut catur yang sahih atau hasan yakin semua lemah. Bahkan, sebagian sahabat Nabi saw. bermain catur dan banyak juga dari tabi’in.

Selanjutnya, mempersamakan permainan catur dengan nardasyir juga tidak tepat karena permainan catur berdasarkan perhitungan dan ketelitian dalam mengatur langkah serta siasat untuk mengalahkan lawan, sedangkan nardasyir bertumpu pada nasib dan untung-untungan.

Memang harus diakui bahwa tidak jarang orang yang bermain, duduk berjam-jam hingga melupakan kewajibannya atau begadang sampai jauh malam sehingga mengganggu kesehatannya atau boleh jadi juga, setelah bermain, mereka bertengkar dan bermusuhan. Dan jika itu terjadi, bermain catur ketika itu adalah haram.

Di sisi lain, boleh jadi juga, permainan ini mengantar seseorang ke kecanduan. Maka ketika itu pun, ia harus terlarang karena segala yang mengakibatkan kecanduan harusnya dilarang. Agaknya, atas dasar inilah sehingga Imam asy-Syafi’i menilai permainan itu makruh hukumnya – selama tidak dibarengi atau mengakibatkan sesuatu yang haram. Adapun bila mengakibatkan haram atau menyertainya, ulama bersepakat mengharamkannya.

M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Lentera Hati. 2009), hlm. 705